Profesionalisme yang di jalankan dengan sepenuh hati akan menjadi sebuah catatan bagi jiwa yang terlayani untuk kemudian menjadikan sejarah bagi kita yang tertulis dalam sebuah kata “Pengalaman”
Seorang profesional adalah orang yang menyadari betul arah kemana ia menjurus, mengapa ia menempuh jalan itu, dan bagaimana caranya ia harus menuju sasarannya. Ia menyenangi pekerjaannya karena ia bisa mengerjakannya dengan baik. Ia mengerjakannya dengan baik oleh karena ia menyenangi pekerjaan itu. Seorang profesional adalah seorang yang senantiasa siap siaga dengan gagasan bila diperlukan, ditambah dengan selusin gagasan lainnya sekalipun tidak ada orang yang meminta dari padanya. Ia adalah seorang yang mau bekerja keras untuk mencapai tujuannya, dan tetap juga tidak kehilangan semangat kerja keras itu dalam tugasnya.
Seorang professional adalah seseorang yang gairah kerjanya sangat mengagumkan. Ia adalah seorang yang realistis, yang menyadari kemungkinannya membuat kesalahan. Akan tetapi ia cukup bijaksana pula untuk tidak membuat kesalahan yang sama sampai dua kali.
Seorang profesional adalah orang yang cukup jujur mengakui kegagalannya, tetapi juga mampu mengatasi rasa putus asanya, dan cukup tabah untuk mencoba lagi usahanya sampai berulang kali. Ia memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Akan tetapi cukup bijaksana untuk menanggulangi segala kesulitan yang timbul.
Seorang profesional adalah seorang tukang khayal. Sekalipun angan-angannya melambung tinggi, tetapi kakinya harus tetap berpijak di atas tanah.
Ia memperhatikan sampai soal-soal yang kecil, akan tetapi menolak soal-soal kecil itu mempengaruhi pikirannya sehingga menjadi cemas. Ia tahu caranya memimpin tanpa bertindak sebagai diktator, tetapi tahu pula mengikuti tanpa kehilangan kewibawaannya. Pada saat ia memimpin, ia memperkembangkan bibit-bibit kepemimpinan kepada bawahannya; sedangkan pada saat ia bekerja, ia memperlihatkan contoh bekerja yang baik bagi bawahannya. Ia tidak menunggu sampai ada orang lain mendorong dia melakukan sesuatu, sebab ia tahu mengambil prakarsa sendiri.
Seorang profesional itu penuh daya cipta, tetapi tidak eksentrik. Ia berani mencoba sesuatu, tetapi tidak pula sembrono. Ia mengabdikan diri penuh, tetapi tidak pula fanatik, seorang profesional adalah seorang yang senantiasa merampungkan pekerjaannya sampai berhasil.
Seorang professional adalah seseorang yang gairah kerjanya sangat mengagumkan. Ia adalah seorang yang realistis, yang menyadari kemungkinannya membuat kesalahan. Akan tetapi ia cukup bijaksana pula untuk tidak membuat kesalahan yang sama sampai dua kali.
Seorang profesional adalah orang yang cukup jujur mengakui kegagalannya, tetapi juga mampu mengatasi rasa putus asanya, dan cukup tabah untuk mencoba lagi usahanya sampai berulang kali. Ia memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Akan tetapi cukup bijaksana untuk menanggulangi segala kesulitan yang timbul.
Seorang profesional adalah seorang tukang khayal. Sekalipun angan-angannya melambung tinggi, tetapi kakinya harus tetap berpijak di atas tanah.
Ia memperhatikan sampai soal-soal yang kecil, akan tetapi menolak soal-soal kecil itu mempengaruhi pikirannya sehingga menjadi cemas. Ia tahu caranya memimpin tanpa bertindak sebagai diktator, tetapi tahu pula mengikuti tanpa kehilangan kewibawaannya. Pada saat ia memimpin, ia memperkembangkan bibit-bibit kepemimpinan kepada bawahannya; sedangkan pada saat ia bekerja, ia memperlihatkan contoh bekerja yang baik bagi bawahannya. Ia tidak menunggu sampai ada orang lain mendorong dia melakukan sesuatu, sebab ia tahu mengambil prakarsa sendiri.
Seorang profesional itu penuh daya cipta, tetapi tidak eksentrik. Ia berani mencoba sesuatu, tetapi tidak pula sembrono. Ia mengabdikan diri penuh, tetapi tidak pula fanatik, seorang profesional adalah seorang yang senantiasa merampungkan pekerjaannya sampai berhasil.
Pengertian
profesionalisme dan Kerja apabila keduanya
digabungkan menjadi satu kesatuan, yaitu
Seorang
profesionalisme akan sangat efisien dalam pekerjaanya jika memiliki keahlian
kerja, arti keahlian kerja adalah kemampuan kita dalam menyelesaikan pekerjaan
yang kita tangani, kata kunci disini adalah menyelesaikan. Menyelesaikan
berarti pekerjaan yang kita selesaikan itu sudah membuahkan solusi bagi orang
lain yang membutuhkan kemampuan kita, jujur perlu kita ketahui,
bahwa orang lain membayar kita karena solusi yang sanggup kita berikan kepada
mereka.
Ada 4 unsur untuk melihat profesionalisme seseorang yaitu Knowledge –
Skills – Attitude – Gromming. Agar lebih memudahkan pemahaman berikut
jika kita sederhanakan denga sebuah matriks :
dari 4 unsur ini diatas, mana yang paling penting untuk memberikan pelayan yang prima adalah ?
Sikap (attitude) menjadi yang terpenting
“Sikap positif harus dimiliki karena pengetahuan dan ketrampilan
dapat dipupuk dengan adanya sikap yang positif, begitu pula dengan
penampilan”
Tentang sikap :
Sikap adalah cara Kita berpikir, yang direfleksikan melalui perbuatan Kita. Sikap juga dapat dinilai berdasarkan cara kita berinteraksi dengan orang lain, dan terutama muncul pada saat Kita sedang mengalami stres. Sikap berhubungan dengan motif, atau alasan kita melakukan sesuatu.
Sikap adalah cara Kita berpikir, yang direfleksikan melalui perbuatan Kita. Sikap juga dapat dinilai berdasarkan cara kita berinteraksi dengan orang lain, dan terutama muncul pada saat Kita sedang mengalami stres. Sikap berhubungan dengan motif, atau alasan kita melakukan sesuatu.
Sikap juga berhubungan dengan nilai (values). Nilai adalah penentu dari sikap, alasan, dan perilaku kita. Jika nilai
yang Kita yakini adalah baik, maka sikap, motif, dan perbuatan kita juga
akan baik!!
Dalam pekerjaan, Kita perlu mengesampingkan asumsi dalam berhubungan
dengan clien, karena dunia dan pengalaman clien berbeda dari kita. Yang diinginkan clien adalah bahwa kita memahami mereka,
menempatkan diri kita pada posisi mereka, melihat dari sudut pandang
mereka.
(Kutipan dari Jansen H. Sinamo)
Kini adalah zaman profesional. Abad 21 dicirikan oleh globalisasi
yang serba kompetitif dengan perubahan yang terus menggesa. Tidak
terbayangkan lagi ada organisasi yang bisa bertahan tanpa profesionalisme. Bukan sekadar profesionalisme biasa tetapi profesionalisme kelas tinggi, world-class professionalism, yang memampukan kita sejajar dan bermitra dengan orang-orang dan organisasi-organisasi terbaik dari seluruh dunia.
Kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini.
Bangsa kita jelas
memerlukan sekelompok besar kaum profesional untuk mengisi pembangunan
masyarakat di segala bidang. Jika tidak mampu, maka kita terpaksa harus
mengimpor mereka dengan harga yang sangat mahal.
Sesungguhnya,
Indonesia berpotensi pula mengekspor tenaga-tenaga kerja profesional
dalam pelbagai kelas ke mancanegara: perminyakan, pertambangan,
kehutanan, sastra, seni, dan lain-lain.
Untuk dua hal di atas diperlukan usaha besar: membangun mentalitas profesional.
Seorang profesional menampilkan kinerja terbaik yang mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best
(kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah
bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu
berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia
melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu
kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk
memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan,
keadilan, kebaikan, kebergunaan.
Jelas, profesionalisme
tidak identik dengan pendidikan tinggi. Yang utama adalah sikap dasar
atau mentalitas. Maka seorang pengukir batu di pelosok Bali misalnya,
meskipun tidak lulus SMP, namun sanggup mengukir dengan segenap hati
sampai dihasilkan suatu karya ukir terhalus dan terbaik, sebenarnya
adalah seorang profesional. Seorang guru SD di udik Papua yang mengajar
dengan segenap dedikasi demi kecerdasan murid-muridnya adalah seorang
profesional.
Di fihak lain, seorang dokter yang menangani
pasiennya dengan tergesa-gesa karena mengejar kuota pasien bukanlah
profesional. Demikian pula seorang profesor yang mengajar asal-asalan,
meneliti asal jadi, membina mahasiswa terlalu banyak sampai mengorbankan
kualitas, bukanlah profesional. Atau, seorang insinyur yang dengan
sengaja mengurangi takaran bahan bangunannya demi laba yang lebih besar
bukanlah profesional.
Jadi mentalitas pertama seorang profesional adalah standar kerjanya yang tinggi yang diorientasikan pada ideal kesempurnaan mutu.
2. Mentalitas Altruistik
Seorang
profesional selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik.
Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Aspek ini
melengkapi pengertian baik dalam mentalitas pertama, yaitu mutu. Baik
dalam mentalitas kedua ini berarti goodness yang dipersembahkan bagi
kemaslahatan masyarakat. Profesi seperti guru, dokter, atau advokat
memang jelas sangat bermanfaat bagi masyarakat. Demikian pula pialang
saham, computer programmer, atau konsultan investasi. Taat asas dengan
pengertian ini, tidak mungkin ada pencuri profesional atau pembunuh
profesional. Mungkin saja teknik mencurinya atau metoda membunuhnya
memang canggih dan hebat, tetapi menggelari mereka sebagai kaum
profesional adalah sebuah kerancuan istilah.
Mutu kerja
seorang profesional tinggi secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri
diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati,
bahkan dengan kesediaan berkorban. Inilah altruisme.
Di
fihak lain, paradoksnya, karena kualitas kerjanya tinggi, berbasiskan
kompetensi teknis yang tinggi, maka masyarakat menghargai jasa kaum
profesional ini dengan tinggi pula. Artinya, imbalan kerja bagi kaum
profesional umumnya selalu mahal. Permintaan atas jasa mereka selalu
lebih tinggi dari ketersediaannya. Itulah yang mengakibatkan imbalan
kerja kaum profesional menjadi tinggi. Oleh karena itu pula, status
sosial kaum profesional dari segi moneter umumnya berada di lapisan
tengah ke atas. Ini bukan karena kaum profesional menuntut untuk
didudukkan di kelas tersebut, tetapi sebagai akibat logis dari
eksistensi profesionalnya.
Maka ciri kedua profesionalisme ialah hadirnya motif altruistik dalam sikap dan falsafah kerjanya.
3. Mentalitas Melayani
Kaum
profesional tidak bekerja untuk kepuasan diri sendiri saja tanpa peduli
pada sekitarnya. Kaum profesional tidak melakukan onani profesi.
Sebaliknya, kepuasannya muncul karena konstituen, pelanggan, atau
pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi
kerja.
Kaum
profesional lahir karena kebutuhan masyarakat pelanggan. Sorang maestro
seni lukis sekelas Michelangelo saja pun tetap punya pelanggan, yakni
Sri Paus, sang penguasa Vatikan, yang keinginannya harus dipuaskan.
Seorang
profesional bahkan dengan tegas mematok nilai moneter atas jasa
profesionalnya. Dengan ketegasan ini berarti sang profesional berani
berdiri di mahkamah tawar-menawar rasional dengan para pelanggannya.
Maka seorang profesional harus bisa melayani pelanggannya
sebaik-baiknya. Dan sang profesional diharapkan melakukannya secara
konsisten dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati sebagai
apreasiasi atas kesetiaan pelanggannya di sepanjang karir
profesionalnya.
Maka ciri ketiga seorang pekerja
profesional adalah sikap melayani secara tulus dan rendah hati kepada
pelanggannya dan nilai-nilai utama profesinya.
4. Mentalitas Pembelajar
Di
bidang olahraga, seorang pemain profesional, sebelum terjun penuh
waktu, terlebih dahulu menerima pendidikan dan pelatihan yang mendalam.
Dan di sepanjang karirnya ia terus-menerus mengenyam latihan-latihan
tiada henti.
Begitu juga di bidang lain, seorang pekerja
profesional adalah dia yang telah mendapat pendidikan dan pelatihan
khusus di bidang profesinya. Bahkan untuk profesi-profesi yang sudah
mapan, sebelum seseorang diberi hak menyandang status profesional, dia
harus menempuh serangkaian ujian. Bila lulus barulah dia mendapatkan
sertifikasi profesional dari asosiasi profesinya.
Kompetensi
tinggi tidak mungkin dicapai tanpa disiplin belajar yang tinggi dan
berkesinambungan. Dan karena tuntutan masyarakat semakin lama semakin
tinggi, tak pelak lagi, belajar dan berlatih seumur hidup harus menjadi
budaya kaum profesional. Tanpa itu maka sajian nilai sang pekerja
profesional semakin lama semakin tidak relevan. Bahkan bisa tak
bersentuhan dengan realitas sekitarnya. Pada saat itulah seorang pekerja
gagal menjadi profesional.
Jadi ciri keempat pekerja profesional adalah hati pembelajar yang menjadikannya terus bertumbuh dan mempertajam kompetensinya kerjanya.
5. Mentalitas Pengabdian
Seorang
pekerja profesional memilih dengan sadar satu bidang kerja yang akan
ditekuninya sebagai profesi. Pilihannya ini biasanya terkait erat dengan
ketertarikannya pada bidang itu, bahkan ada semacam rasa keterpanggilan
untuk mengabdi di bidang tersebut. Mula-mula, pilihan itu dipengaruhi
oleh bakat dan kemampuannya yang digunakannya sebagai kalkulasi peluang
suksesnya di sana. Tetapi kemudian berkembang sebuah hubungan cinta
antara sang pekerja dengan pekerjaannya.
Hubungan ini
mirip dengan hubungan jejaka-gadis yang jatuh cinta. Semakin mereka
mengenal, rasa cinta makin kental, dan akhirnya mengokohkan hubungan itu
secara marital. Demikian juga seorang profesional, semakin ia menekuni
profesinya semakin timbul rasa cinta. Dan bila hatinya sudah mantap
betul maka ia memutuskan untuk hanya menekuni bidang itu sampai tuntas
dan menyatu padu dalam sebuah ikatan cinta yang kekal. Demikianlah,
seorang profesional mengabdi sepenuh cinta pada profesi yang dipilihnya.
Jadi ciri kelima seorang profesional sejati adalah terjalinnya dedikasi penuh cinta dengan bidang profesi yang dipilihnya.
6. Mentalitas Kreatif
Seorang
olahragawan profesional menguasai sepenuhnya seni bermain. Baginya
permainan tidak melulu soal teknis, tetapi juga seni. Ia beranjak dari
seorang jago menjadi seorang maestro seperti Rudy Hartono di
bulutangkis, Pele di sepakbola, atau Muhammad Ali di tinju. Sedangkan
pemain amatir, tidak pernah sampai ke jenjang seni; asal menguasai
teknik-teknik dasar maka memadailah untuk ikut
pertandingan-pertandingan.
Seorang
pekerja profesional, sesudah menguasai kompetensi teknis di bidangnya,
berkembang terus ke tahap seni. Dia akan menemukan unsur seni dalam
pekerjaannya. Dia akan menghayati estetika dalam profesinya. Mata
hatinya terbuka lebar melihat kekayaan dan keindahan profesi yang
ditekuninya. Seterusnya, perspektif, keindahan, dan kekayaan ini akan
memicu kegairahan baru bagi sang profesional yang pada gilirannya
memampukannya menjadi pekerja kreatif, berdaya cipta, dan inovatif.
Jadi
ciri keenam seorang pekerja profesional adalah kreativitas kerja yang
lahir dari penghayatannya yang artistik atas bidang profesinya.
7. Mentalitas Etis
Seorang
pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya,
menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi
apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan
profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar
keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi
bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi
lain.
Maka seorang profesional sejati tidak akan
menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan
misalnya. Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran
profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum
profesional.
Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan
dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional
bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi
mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya
dengan tulus.
***
Tampaklah
bahwa menjadi profesional sangat berat. Tanpa motivasi akbar, dan
stamina moral yang tinggi seseorang tidak mungkin menjadi profesional
sejati.
Pertanyaan penting disini: darimana kah seorang
profesional mendapatkan motivasinya sehingga ia dapat bertahan bahkan
bertumbuh di arena profesional itu? Pasti tidak dari sekadar uang saja
meskipun dunia profesional berlimpah dengan uang. Lagipula sudah
diketahui bahwa motivasi uang selalu berbentuk kurva lonceng, maksudnya
uang memang memotivasi orang, tetapi sesudah uang diperoleh, tingkat
motivasinya akan turun kembali; mendaki ke puncak kurva lalu menurun
menuju dasar kurva.
Motivasi seorang profesional selalu
berasal dari ruang spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai
jenis motivasi luhur seperti demi negara, demi bangsa, demi kaum papa,
demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi peradaban, dan
sebagainya.
Dalam Abad 21 kini, dimana kompetisi
antarmanusia, antarorganisasi, antarperusahaan, dan antarbangsa telah
menjadi norma, maka profesionalisme di segala bidang menjadi tiket masuk
ke stadion peradaban. Tanpa profesionalisme maka kita cuma jadi
penonton. Dan sebagai penonton, kita harus selalu membayar. Juga, tidak
ada calo yang menjual karcis catutan. Artinya setiap orang harus menjadi
profesional. Setiap perusahaan, partai politik, atau organisasi apa pun
harus menjadi profesional. Bahkan setiap negara akhirnya harus
berkelakuan profesional terhadap konstituen utamanya: rakyat! Jika
tidak, masyarakat akan berkata pada kita: go to hell with your filthyness.
1 komentar:
trims infonya, sangat bermanfaat jika ingin menjadi pekerja profesional nih. aq juga baca hal serupa disini nih http://goo.gl/uTKNzd, pekerja profesional juga harus kreatif
Posting Komentar